Minggu, 10 November 2013
mengetahui berbagai limbah rumah sakit beserta penangananya
01.02
No comments
Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan
seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur.
Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa
rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari.
Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per
hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat)
berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius
sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah
(limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah
sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan
betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya
menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996).
Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya
membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah
diperkirakan 0,5 – 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari
(Sebayang dkk, 1996).
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran
kepada 23 rumah sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan
mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD)
Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim,
hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik.
Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit
IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut
juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki
incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa
limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu
saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah
menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan
pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak
dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah
sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit,
khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah
medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan
nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah
medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda
dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah
infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar
tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah
sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti
itu (Sebayang dkk, 1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan
Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya pengelolaan limbah
rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi
rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang
diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak
dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus
memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan
lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara
limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya,
harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa
memilikinya (Sebayang dkk, 1996).
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan
jadi penyebab tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari
kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian
manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah
teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran,
kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena
menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan
membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut
produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk,
1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah,
mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis limbah
berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai
atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta
pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan, pembuangan bahan kimia
baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan
persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan
lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan
pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang
dkk, 1996).
Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan
rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang
mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi
pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan
tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh
kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan
(Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan
yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung
bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD, COD,
TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas
sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah-
limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau
bahan kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi dan
dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh teknik
pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan
bahan-bahan terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan
pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk (Said, 1999).
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika
dilakukan dengan memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang
berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh
mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis
limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana,
1998) :
a. Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan
di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan
mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan staff
rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai
resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus
yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum
dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum
keluar dari unit patologi. Limbah tersebut harus diberi label
biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik
yang tidak berkontak dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan
resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat
yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga
seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan
bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di
rumah sakit, pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.
Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume,
konsentrasi atau bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan,
melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan
limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu
mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang
meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan
limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di Indonesia baru
mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru, yang
tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang
masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi
mana yang terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya
antara lain reduksi limbah (waste reduction), minimisasi limbah (waste
minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan
pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source
reduction) (Hananto, 1999).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali
karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi
terjadinya limbah yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada
sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas dan
tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif
langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan
yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan
limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai cara
yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono,
2000) :
House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh
rumah sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan dengan mencegah
terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta menangani limbah
yang terjadi dengan sebaik mungkin.
Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai
jenis aliran limbah menurut jenis komponen, konsentrasi atau keadaanya,
sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi biaya
pengolahan limbah.
Pelaksanaan preventive maintenance, yakni
pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat menurut waktu yang telah
dijadwalkan.
Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu
upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk menjamin kelancaran
proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan
gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan
terkontrol.
Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik:
sesuai dengan petunjuk pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan
efisiensi.
Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi
proses kegiatan yang kurang potensi untuk mengeluarkan limbah B3 dengan
efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan
rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.
Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di
seluruh rumah sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah
dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal
berikut (Haryanto, 2001) :
Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan
dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik.
Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus
dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan aman sebelum
dibuang.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi
dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :
1. Pemisahan limbah
Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna
yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus diangkut untuk
insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik cukup mahal
sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor
(dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung
kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan
di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain
2. Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah
berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan diberi label yang
jelas
Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya,
sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan diletakkan di
tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
Petugas pengumpul limbah harus memastikan
kantung-kantung dengan warna yang samatelah dijadikan satu dan dikirim
ke tempat yang sesuai
Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap
terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
Kantung dipegang pada lehernya
Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya
dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian terusan (overal),
pada waktu mengangkut kantong tersebut
Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan
kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung baru yang kotor
tersebut seisinya (double bagging)
Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda
tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung yang salah
Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode
warnanya. Limbah bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor,
limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran
khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan
yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan
dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung
limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang
ditempat penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus
dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan kapur dan
ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga
tidak sampai membusuk.
Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana
dibanding dengan limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat
terlepas dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya dalam
memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan
agar (Agustiani dkk, 2000) :
Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.
Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3
udara dan bebas kuman padao gen (khususnya alpha streptococus
haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang perawatan dan isolasi :
kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan
bahan berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum yang
telah ditentukan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri.
insinerator berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 –
1500o C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60%
panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah
sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani
insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari rumah sakitlain.
Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan
antara lain kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik,
termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti
dan Sulaiman, 2001).
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun
dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut
meliputi yang berikut (Djoko, 2001) :
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
Tambahkan lapisan kapur.
Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa
ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah.
Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.
Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak
mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat
membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah sakittersebut. Dari
sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium
paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses
uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated
sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus, sehingga
harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum “dilempar” menjadi limbah
tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang
mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan.
limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).
Teknologi Pengolahan Limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya
berkisar antara masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya
sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik banyak
dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat
mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil
akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga
dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin
dkk, 2002).
Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah
medis, juga bukan berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS
menemukan teknik insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang
sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang
menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh (Suparmin dkk, 2002). Yang
sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya teknologi
pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode sterilisasi
limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United States
Environmental Protection Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini
sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil,
cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).
Ozonisasi
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu.
Proses ozonisasi atau proses dengan menggunakan ozon pertama kali
diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air
minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang
sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang
lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan ozonisasi untuk proses
sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi
bahan makanan, pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara
pada ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak
terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah
bereaksi dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential
2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan
menggunakan plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui
proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam
mikroorganisma seperti
bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus
serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui
proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel
mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses
oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen peroxy
(HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam
air. Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai
banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik dan industri
(Akers, 1993).
Ozonisasi Limbah cair rumah sakit
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur,
laundry, toilet, dan lain sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam
equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan dengan
gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi
senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper,
1986).
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki
koagulasi untuk dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada
tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam berat dan
lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat
diendapkan (Harper, 1986).
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada
tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat
pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan
dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon
aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses
penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti
dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang
keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan
aman ke sungai (Harper, 1986).
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH),
sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi
(2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V). Hidroksil
radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa
organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai
contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan berubah
menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi
kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang
lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di
sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan
didapatkan karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal
berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik juga dapat dipergunakan
dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma, menghilangkan
bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan
dapat mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang
banyak terkandung dalam limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada
saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif.
Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses
penyerapan akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau
didaur ulang dengan cara dicuci (Wilson, 1986).
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu
ultraviolet atau hidrogen peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan
didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air yang sangat
dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini
tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam
air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge)
dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem
ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah
limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah
terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga
cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas
(Wilson, 1986).
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak
positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif.
Dampak negatif itu berupa
cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa
pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik
akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit
darin pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien
maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu
untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain
yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan
kebijakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan
melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah
sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah
sakit sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung
jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar