Kamis, 07 November 2013

Jelang KSAN 2013: Butuh Rp 660 Triliun Tuntaskan Pembangunan Sanitasi dan Air Minum

Pembangunan sanitasi dan air minum menghadapi tantangan yang cukup berat. Berbagai hambatan menghadang. Di antaranya payung hukum, pembiayaan, infrastruktur hingga minimnya perhatian pemerintah daerah (pemda) terhadap penyediaan kedua fasilitas. Inilah yang menyebabkan kondisi sanitasi dan air minum di Indonesia masih banyak yang belum layak. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy Supriadi Priatna mengungkapkan, layanan air minum layak baru mencapai 58,05 persen dan akses sanitasi layak baru 57,35 persen rumah tangga. "Hal ini mengakibatkan kerugian sebesar Rp 67 triliun per tahun," kata Dedy kepada pers di Jakarta, Jumat (18/10/2013). Ia mengatakan, saat ini kondisi sanitasi di Indonesia ini lebih jelek dibandingkan dengan Vietnam dan Myanmar. "Sanitasi kita itu masih lebih buruk dibandingkan dengan Vietnam dan Myanmar, malu kita," jelasnya. Pemerintah, katanya, menargetkan ada perbaikan sanitasi dan air minum yang layak hingga 100 persen pada 2019. Untuk mencapai target tersebut dibutuhkan dana Rp 660 triliun. Peningkatan akses air minum dan sanitasi ini, menurut Dedy, harus dilakukan mengingat hal itu sangat memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Merujuk pada target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 setidaknya sebanyak 68,87 persen penduduk harus sudah mendapatkan akses air minum yang layak dan sebanyak 62,41 persen penduduk harus sudah memiliki akses sanitasi layak. Maka selisih yang harus dikejar untuk mencapai target itu sebesar 10,82 persen untuk air minum dan 5,06 persen untuk sanitasi. Sementara itu Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPLP) Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Djoko Mursito mengatakan tantangan dalam penyediaan air minum antara lain adalah tingkat pertambahan cakupan pelayanan air minum melalui sistem perpipaan belum dapat mengimbangi pesatnya pertumbuhan penduduk. Selain itu tingkat kehilangan air yang relatif masih tinggi pada sistem perpipaan yaitu rata-rata 3,7 persen. Masalah lainnya, kata Djoko, adanya kontaminasi pada jaringan distribusi menyebabkan kualitas air tidak layak dikonsumsi secara langsung. Selain itu tantangan dalam pembiayaan antara lain komitmen dan kepedulian pemerintah daerah masih rendah dan belum adanya pengembangan sumber pembiayaan alternatif. "Tarif air minum masih jauh dari harga yang dibutuhkan untuk pengoperasian juga belum diterapkannya tarif full cost recovery masih rendah," kata Djoko. Ia tak menampik saat ini perlu banyak peraturan daerah untuk pengembangan kapasitas terkait terkait penyediaan air minum dan sanitasi guna mendukung operasional. Keberadaan perda sangat penting karena mengatur petunjuk teknis dan tertulis dari pengembangan sistem sanitasi dan penyediaan air minum di daerah. Soal air baku, penyediaan air baku juga belum didukung kapasitas daya dukung dan kualitas air baku di berbagai lokasi. Pemerintah daerah umumnya belum memiliki perencanaan terhadap kebutuhan air baku. Selain itu konflik antar wilayah dan antar pengguna atas penggunaan sumber daya air kerap terjadi. Menyangkut sanitasi, Djoko menjelaskan rinciannya. Akses air limbah baru mencapai 57,35 persen pada akhir 2012. Capaian di bidang persampahan baru 56,20 persen dari timbulan sampah yang terangkut ke lokasi pembuangan akhir. Menurutnya, pelaksanaan pembangunan sarana sanitasi juga belum terlaksana secara maksimal karena jumlah air buangan yang harus dikelola semakin banyak. Selain itu, kompleksitas tatanan permukiman di perkotaan dan lingkungan padat penduduk membuat sulit mencari lahan yang layak untuk pembangunan infrastruktur sanitasi. Seiring dengan itu biaya pembangunan infrastruktur dan biaya operasional semakin meningkat sejalan dengan semakin sulitnya membangun di kawasan perkotaan. Djoko mengatakan masih sedikit kabupaten/kota yang memiliki perda pengelolaan sanitasi. KSAN 2013 Konferensi Sanitasi dan Air Minum Nasional (KSAN) memiliki arti penting dalam upaya memacu pembangunan sanitasi dan air minum. Acara ini akan diselenggarakan pada 29-30 Oktober 2013 di Balai Kartini Jakarta dengan tema 'Sanitasi dan Air Minum untuk Indonesia Lebih Sehat: Bangun Sanitasi, Jangkau Air Minum'. KSAN pertama dimulai sebagai Konferensi Sanitasi Nasional (KSN) I pada tahun 2007 dan menghasilkan Deklarasi Jakarta yang mengusung pentingnya pembangunan sanitasi untuk masyarakat. KSN II diselenggarakan pada 2009 dan Wakil Presiden Boediono membuka dan meluncurkan Program Percepetan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). KSAN 2011, sebagai penyelenggara yang ketiga menjadi momentum untuk mendorong investasi di sektor air minum dan sanitasi di Indonesia. Tahun ini, Pokja AMPL menyelenggarkan konferensi untuk mengadvokasi percepatan pembangunan sektor sanitasi dan air minum, yang diharapkan dapat mendorong upaya penyelesaian target-target sebelumnya hingga mencapai target Millenium Develompent Goals (MDGs) yakni sebesar 68,87 persen dan 62,41 persen di 2015. "KSAN ini untuk mempercepat upaya mencapai program, berharap sekali Presiden yang datang membuka acara dan memaparkan program. Siapa tahu kalau Presiden yang bicara, upaya untuk menciptakan air minum dan sanitasi yang layak juga bisa cepat agar kesehatan masyarakat juga terjamin, sebelumnya kan hanya wakil, mungkin itu yang membuat peningkatan hanya sedikit," kata Dedy. []

0 komentar:

Posting Komentar